بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Nulis yang aku sukai aja, semoga bermanfaat juga buat kalian. Happy reading :)"

Pejuang ESPEDE: Part 5. Berguru pada Di'da, Adik Kecil Berkacamata (Edisi Peduaka 03)



Kisah adik kecil bermata empat (re: berkaca mata) yang bercita-cita menjadi dokter. Sore itu, seperti biasa aku tengah mengajari anak-anakku belajar membaca. Tiba-tiba ku dengar bisikan-bisikan dari anak-anak kelas lima.

"Kak, ini juga Di'da tidak bisa membaca."
"Iya kak, kita ajari mi juga Di'da membaca. Dari dulu tidak tahu membaca."

Aku melihat kearah gadis kecil yang ditunjuk-tunjuk oleh temannya, yang akrab disapa Di'da itu. Dia tertunduk malu saat kudapati dirinya. Memakai tas ransel, berpenampilan seperti anak pada umunya, menggunakan jilbab pasang berwarna putih. Di'da sudah kelas lima SD, mungkin ini penyebab teman-temannya selalu mengolok-oloknya.

"Sudah kelas lima, tidak tahu membaca." Kurang lebihnya seperti itulah.

"Di'da ya, sini dek. Duduk disini dekat Syahra" Kataku padanya sambil menunjuk kearah samping Syahra yang juga tengah belajar membaca, sibuk menyusun kartu huruf yang sedari tadi sudah kukeluarkan untuk digunakan belajar membaca.

Di'da duduk disamping Syahra. Syahra ini siswaku di kelas dua. Dia hanya kurang lancar saja membaca. Untuk ejaan kata yang genap, dia sudah bisa. Perlu banyak belajar pada bagian kata yang jumlah hurufnya ganjil. Hanya saja, sangat disayangkan. Dia masih suka lupa huruf.

Jadilah aku mengeluarkan kartu huruf yang selalu kugunakan saat mengajar private. Mengajari anak-anak membaca sudah hal biasa bagiku, karena semua siswa yang kudapatkan saat mengajar private pasti anak-anak kecil yang memang baru mau diajarkan calistung (baca, tulis dan hitung). Akhirnya kubuatlah kartu ini, agar bisa selalu kubawa saat ku mengajar. Kartu ini media belajar mengenal huruf yang cukup bagus untuk diterapkan.

Bersyukur karena masih sempat untuk berpikir membawa kartu huruf ini. Dan ternyata sangat berguna di lokasi peduaka. Membantu anak-anak yang kurang daya ingatnya terhadap huruf-huruf abjad. Hingga sampai diakhir pembelajaran sore itu bersama Syahra, aku menyudahi pembelajaran bersamanya. Karena belajar bersama Syahra sudah sampai dua jam lamanya.

"Kak, boleh ku minta ini?" Syahra menunjuk pada kartu huruf yang sudah rapi disusun olehnya.

"Ehm, boleh tidak ya?" Jawabku sambil mengajaknya bercanda.

"Boleh, tapi Syahra harus janji sama kakak".

"Iya kak, janji apa ka kak?" Dia menjawab dengan sangat antusias.

"Boleh kartunya dibawa pulang, tapi Syahra harus rajin belajar membaca, ingat semua hurufnya yah."

Dia tersenyum girang dan mengangguk.

"Jadi untuk saya mi ini kartunya kak?"

"Iya, untuk Syahra. Tapi ingat yang kakak bilang tadi nah. Apa bede?"

"Rajin belajar membaca dengan ingat semua huruf."

"Oke..."

Pembelajaran bersama Syahra berakhir, aku menyuruhnya untuk kembali pulang ke rumah. Jadilah diteras itu, hanya ada aku dan Di'da yang masih saja diam sejak tadi.

"Di'da, sini. Dekat-dekat ki sama kakak."

Di'da mendekat perlahan. Lalu kuhadapkan buku paket tematik kelas dua. Aku menunjuk pada bagian judul subtema di sampul buku,

"Coba Di'da baca ini dek."
"Ih, bisa kok membaca. Kata siapa Di'da tidak bisa membaca?" Dia tersenyum malu, pertama kali dia tersenyum. Sejak tadi dia datang, selalu menunduk, entah malu atau takut. Aku juga tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukkan Di'da. Datar sekali ekspresi wajahnya.

Tapi senyumnya, seperti ekspresi anak yang senang disanjung. Seperti menggambarkan bahwa "Oh, ternyata ada yang bilang bahwa saya bisa membaca." Seperti ada semangat muncul dipermukaan, saat kukatakan bahwa dia bisa membaca.

Kucarikan lagi teks bacaan di dalam buku dan kusuruh Di'da untuk membaca. Dia membacanya perlahan sambil mengeja. Terbata-bata. Menurutku, dia hanya kurang lancar saja, bukan dikategorikan tidak bisa membaca.

"Di'da, bisa jaki membaca dek. Siapa yang bilang Di'da tidak bisa membaca?" Pertanyaannku masih belum dijawab.

"Kakak sudah coba tadi Di'da, bisa kok membaca. Cuma, Di'da membacanya belum lancar. Bukan tidak bisa membaca yah. Kalau orang tidak bisa membaca itu, tidak kenal huruf, tidak bisa mengeja, tidak tahu membaca kata. Kakak mau coba lagi, Di'da baca lagi ini." Aku menunjuk pada satu kata lagi di buku paket itu.

"Itu, bisa jaki toh? Ih, Di'da bisa membaca dek. Cuma membaca ta itu, kurang lancar saja. Masih mau banyak belajar lagi biar tambah lancar membacanya" Kali ini, senyumnya awet. Dia terus tersenyum.

"Mau kakak kasih tau caranya supaya lancarki membaca?" Tanyaku lagi. Hanya dijawab dengan anggukan saja.

"Nah, jadi caranya itu membaca satu kalimat setiap malam sebelum tidur. Satu kalimat saja. Ditau ji toh dibilang satu kalimat?"

"Iya." Menjawab dengan mengangguk.

"Coba kasih tunjuk kakak, mana yang dibilang satu kalimat."

Di'da melihat bacaan paragraf dengan cermat lalu menunjuk pada bagian kalimat yang diakhiri dengan tanda baca titik. Oh dia memang sudah paham, batinku.

"Nah, itu. Sudah tau mi juga yang mana kalimat. Jadi, Di'da harus ingat yang kakak bilang nah. Baca satu kalimat setiap malam sebelum tidur."

Dia mengangguk lagi sambil tersenyum.

"Ada lagi cara yang lain, biar tambah cepat lancar membacanya." Kali ini dia menatapku seakan menungguku untuk memberitahu kiranya cara apa itu.

"Mau tau tidak?" Dia mengangguk lagi.

"Kalau dapat ki bacaan, dimana saja itu, kita baca mi. Na suruhki mama ta pergi beli kopi, pasti di bungkus kopinya ada tulisan toh. Nah, Di'da baca-baca saja. Tidak papa mengeja, karena orang belajar membaca memang harus mengeja dulu. Nanti lama-lama pasti lancar mi membaca. Nah?"

Di'da tersenyum lagi. Kali ini, senyum malu. Kelihatan sekali, tertunduk lalu tersenyum. Ternyata dia hanya butuh motivasi.

Pertanyaanku yang sebelumnya belum terjawab, coba kuajukan lagi padanya.
"Siapa bilangi ki nda bisa membaca?"

"....." diam.

"Siapa? Kasih tau kakak."

"Mama."

Seketika rasanya itu...
Apa ya, aku juga tidak tau bagaimana mendeskripsikannya. Saat dia menjawab mama itu rasanya kok aku tidak percaya. Tapi saat kutanya berulang kali, benar adanya. Bayangkan, sosok mama yang seharusnya mengajari anaknya lantas mematahkan semangat anak untuk belajar. Mungkin tidak bisa mengajari membaca, okelah. Tapi mengatakan pada anak sendiri bahwa tidak bisa membaca itu gimana ya? Hm....

Ada juga ternyata orang tua yang demikian. Jadi flashback dulu waktu diajarin menulis sama mama sendiri. Sampe jari-jari bengkak gegara dipukul pake pensil kalo nggak serius belajarnya. Seanarkis itu sih, tapi bersyukur. Mama sangat peduli dengan kebutuhab sekolahku, ternyata seperti itu. Pernah juga, dulu aku sangat ingat. Mama dengan caranya mengajariku bacaan sholat, bahkan sebelum aku masuk sekolah dasar.

Strategi yang mama gunakan dengan cara memberikan aku hapalan potongan-potongan ayat, lalu aku harus menyetor potongan-potongan ayat itu dalam jangka waktu yang tak menentu. Tergantung mood mama kali yah. Kadang bisa dua hari sekali, tiga hari juga pernah, pokoknya kalo mama udah bilang nyetor hapalan, ya udah. Harus nyetor pada saat itu juga. Jadi cara mama itu, difokusin dulu ke bacaannya. Mulai dari niat sholat, sampai bacaan tasyahud akhir dan salam.

Aku masih ingat juga, dulu pernah sampe nangis dimarahin, dicubitin gegara lupa potongan ayat yang sudah diajarkan. Saat itu, malam hari menjelang tidur. Aku disuruh stor hapalan. Pada saat aku lupa, aku dihukum dengan cara dilarang tidur sampe harus benar-benar ingat hapalan yang sudah diajarkan. Drama ini terjadi cukup lama, berbulan-bulan. Perkiraan sekitar 4-5 bulanan lah. Karena pada saat aku masuk sekolah kelas 1 itu sudah hapal bacaan sholat secara keseluruhan. Kalau diingat-ingat, lucu juga. Kadang geli sendiri.

Pernah sampe mikir gini, "ini sebenarnya mama suruh ngapalin kayak gini buat apaan sih? Nggak dipake apa-apa juga."

Tapi, akhirnya kusadari bahwa ternyata, di sekolah mata pelajaran agama, aku diajarkan bacaan surah alfatihah oleh guru agamaku. Dan aku satu-satunya yang sudah hapal itu. Bagaimana tidak, bacaan surah al-fatihah kan ada dalam rangkaian bacaan sholat yang diajarkan mana. Jelas lah aku sudah hapal. Tentu itu memudahkanku belajar, disaat teman-temanku baru memulai hapalannya, aku sudah hapal bacaan itu.

Pernah juga kusadari hal itu, ketika aku sudah tinggal jauh dengan mama. Aku tinggal di rumah mbah wedok (re: panggilan nenek dalam bahawa jawa), aku disuruh masuk TPA. Nah, disini aku diajarkan semua bacaan sholat plus gerakannya juga. Bekalku dari mama itu juga kusadari saat disini. Aku mengangguk paham, saat mbak yuyun (re: guru ngajiku) mengajarkan bacaan sholat itu.

"Ternyata selama ini yang diajarkan mama itu adalah bacaan sholat."

Entah mengapa rasanya senang sekali. Lagi dan lagi, teman-temanku baru mau memulai untuk menghapal, aku sudah tamat menghapalkannya. Memang untuk gerakan sholat aku belum diajarkan sama mama, baru sebatas bacaannya saja. Di TPA inilah, aku mulai mempelajari semuanya. Semua pelajaran sangat berkesan. Belajar tajwid, hadits, fiqih, imla (dikte), bahasa arab, tillawah dan kehidupan santri TPA. Sangat menyenangkan. Semua bekal tajwid, terus kubawa sampai sekarang sejak bergelar santri TPA Al-Hidayah.

Itu hanya sesikit mengenang perjalananku belajar sewaktu kecil, sosok yang berperan penting dalam membantu untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan agamaku. Tidak pernah bisa kulupakan, semua sangat berkesan.

Kembali ke Di'da, sangat disayangkan jika benar ibunya adalah orang yang mematahkan semangat anaknya dalam belajar. Miris rasanya, aku saja yang saat mendengar hal itu seakan ingin menangis. Kok bisa, sampai hati sekali ya kan?

Langsung saja, aku menguatkan Di'da dengan mengatakan hal ini,
"Di'da, ingat kakak bilang kalau Di'da itu bisa mi membaca. Hanya saja, kurang lancar. Nah, kalau mau lancar membaca berarti harus rajin membaca apa saja tulisan yang didapatkan. Dieja saja. Nanti lama-lama pasti akan lancar membaca. Kalau misalnya mama bilang Di'da nda bisa membaca, Di'da bawa buku bacaan terus duduk didepannya mama. Membaca ki di depannya mama ta, baru bilangki sama mama. Mama, bisa ma membaca. Lancar ma membaca mama. Begitu nah?"

Dia mengangguk lagi. Lagi-lagi dengan sangat antusias.

Sore itu, karena waktu sudah hampir magrib aku menyudahi waktu belajar bersama Di'da. Sayang sekali, aku terlambat mengenalnya. Dan tak disangka bahwa ternyata belajar yang dilakukan pertama kali juga menjadi belajar yang terakhir kali dengannya. Aku sudah tidak pernah lagi melihatnya.

Apalagi, minggu terakhir memang sudah disibukkan dengan proker sekolah, sehingga waktu di dalam kelas bersama anak-anak juga berkurang.

Tibalah masa penarikan. Saat semua rangkaian acara telah selesai, aku juga sudah berpamitan dengan anak waliku, masih dalan keadaan yang campur aduk. Antara sesih dan senang. Sesih harus meninggalkan mereka, senang karena waktu yang dinanti-nanti telah tiba.

Saat itu, aku sibuk memperbaiki keadaan kelas yang sudah dipakai untuk acara penarikan, kesana kemari tak karuan. Sudah tak mempedulikan siapa yang ada di depan, siapa yang ada disamping. Di'da tiba-tiba saja menarik lenganku. Aku melihatnya sejenak. Hampir aku lupa.

"Eh, Di'da. Kenapa dek?"

"...."

Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan. Entah malu atau apa. Lalu aku duduk setengah, mensejajarkan tinggiku dengannya. Kutanya sekali lagi.

"Di'da, kenapa ki dek?"

"Kak, lancar ma membaca. Setiap malam selalu ka baca satu kalimat sebelum tidur."

Aku tak bisa berkata-kata. Tiba-tiba saja air mataku jatuh. Tak menunggu untuk dibendung, langsung jatuh begitu saja. Sangat bahagia rasanya. Dia hanya ingin memberitahukan itu kepadaku. Dia menatapku, seperti bingung melihatku menangis, lalu tangannya menghapus air mata yang jatuh membasahi pipiku. Langsung ku peluk Di'da.

Kesekian kalinya, selain anak waliku. Ada Di'da juga yang membuatku merasa berguna. Aku tak mampu memberikan apa-apa lagi, selain kukuatkan untuk selalu belajar lebih giat lagi.

Sampai saat ini, kisahnya adalah yang paling berkesan. Dia sangat istimewa dalam rangkaian ceritaku untuk edisi peduaka. Yang sampai saat ini selalu memotivasiku untuk mengabadikan kisahnya, melanjutkan part-part dalam label Pejuang ESPEDE ini.

Terimakasih Di'da, adik kecil. Aku berguru padamu. Kisahmu abadi disini, semoga kelak kau sukses. Apapun profesimu, semoga kau sukses.

Satu hal yang aku pelajari dari kisah Di'da. Anak-anak hanya butuh motivasi. Butuh dukungan dari orang tua. Itulah mengapa peran orang tua dalam pendidikan memang sangat membantu perkembangan anak di sekolah. Ada orang tua yang begitu antusias untuk memberikan les terbaik sampai anak capek untuk belajar, ternyata ada pula orang tua yang tak peduli bahkan sampai pada tahap  menjadi faktor utama anak terhambat belajarnya.

Semua butuh keseimbangan. Porsinya tidak boleh berlebihan dan tidak boleh kurang juga.

Semoga terdapat kebaikan yang bisa dipetik dalam tulisan ini. Maafkan jika belum bermanfaat. Maaf juga, terlalu banyak curhatan jadi cerita kali ini jadi lebih panjang. Maaf yang ketiga kalinya yah, pasti banyak typonya kan? Hihi. Mohon dimaklumi, nanti aku akan kembali lagi untuk memperbaiki typo dan melengkapi tulisan ini dengan foto bersama Di'da. Terimakasih sudah membaca, nantikan part selanjutnya yaa :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam kenal dari ViiJourney buat semua Sobey yang sempat baca tulisan dalam blog ini. Sini, tinggalkan komentar di bawah. Kita saling sapa :)