بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Nulis yang aku sukai aja, semoga bermanfaat juga buat kalian. Happy reading :)"

Tentang Perempuan: Madrasah Tanpa Atap


Hi Sobat ViiJourney :')

Apa kabar hati yang selalu bilang baik-baik aja? Bagaimana dengan hari ini dan saat ini, saat kalian membaca pertanyaan ini dariku? Masih sanggup bilang baik-baik saja? Kalau benar keadaan hati sedang baik-baik saja, alhamdulillah. Sungguh itu karunia yang tak terkira. Jika sedang tidak baik-baik saja, belajarlah untuk selalu jujur pada diri sendiri. Jadi gimana? Apa kabar hat hari ini? Jawab dengan jujur ya, seperti biasa, anggap saja ini adalah selftalk rutin diblog ini.

Hari ini, entah mengapa lagi pengen buat tulisan yamg isinya ngga beda jauh sama judulnya. Ya, tentang perempuan. Saat ini aku tengah menyelesaikan bacaan buku yang kubeli sebulan lalu yaitu Perempuan Teduh yang ditulis oleh Harun Tsaqif. Sejam sebelumnya, aku masuk pada bab 'Madrasah Tanpa Atap'. Tetiba saja, jemariku menggelora ingin juga mengabadikan tulisan tentang topik yang sama. Seketika saja, aku langsung meminjam pulpen dan kertas teman didepanku, karena pulpen dan kertasku ada di dalam tas tempat penitipan barang.

Terlalu jauh jika aku harus pergi mengambil terlebih dahulu. Apalagi aku sedang dalam posisi wuenak alias PW yang membuatku enggan untuk beranjak. Tapi, kupikir-pikir lagi, sepertinya kertas ini tak akan bertahan lama mengingatkanku. Pelupa banget, jadi kuurungkan niatku untuk menuliskannya dalam selembar kertas. Aku justru meminjam ponsel temanku itu, lalu kubuka aplikasi WhatsApp, dan ku ketiklah topik yang sangat ingin kutulis ini. 

"Sepertinya ini lebih efisien," pikirku.

Benar saja, selang beberapa menit saat aku mulai mengantuk dengan kegiatan membacaku, maka kualihkan ke bagian komputer untuk menemukan kembali zona nyamanku bersama dengan tulisan-tulisan ini. Jadilah tulisan sederhana ini, kupersembahkan untuk diri sebagai perempuan yang kelak juga akan menjadi madrasah bagi anak-anaknya. 

edited by Viijourney (Sumber: canva.com)

Bab 'Madrasah Tanpa Atap' itu memberikan argumen yang semakin memantapkan aku untuk belajar lebih banyak lagi tentang apa saja. Tentang hal-hal sederhana yang bisa saja membuatku speechless ketika menjawab pertanyaan manusia-manusia kecil di rumahku. Tentang hal-hal sederhana yang mampu melekat dalam ingatan manusia-manusia kecil itu. Tentang kehidupan yang notabenenya dijalani hanya sebuagai persinggahan menuju rumah kita yang sebenar-benarnya rumah bagi kita. 

Tapi, benar. Bab itu bukan hanya sekadar argumen belaka si penulis. Perempuan memang kelak akan menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Bahkan hal inipun sudah dijelaskan dalam Al-Quran dan juga Hadits tentangnya. Hanya saja, disini aku tidak ingin mendeskripsikan lebih dalam soal ayat dan haditsnya, tapi lebih kepada berbagi hal sederhana yang berkaitan tentangnya. 

Keseharianku saat ini adalah mengajar privat untuk anak usia empat sampai lima tahun. Kalian bisa bayangkan bagaimana aku harus menyiapkan seribu satu jawaban dari seribu pertanyaan mereka ketika sedang belajar bersama. Seperti hari ini, aku dibuat speechless oleh siswaku kala aku membacakan sebuah buku cerita yang berjudul "Jujur itu Hebat'. Aku membacakan dengan seksama, menyesuaikan intonasiku dengan keadaan cerita. 

Sampailah aku pada kalimat, "semua temannya kecewa pada monyet."

Tetiba saja, siswaku nyeletuk, "Kecewa itu apa?"

Aku seketika terdiam beberapa detik, sembari memikirkan kira-kia jawaban apa yang cocok untuk pertanyaan soal deskripsi kecewa untuk anak-anak. Ah, aku saja tak menyangka kalau dia akan menanyakanku soal kecewa. Tentu aku menjawab pertanyaannya, tentu pula dengan jawaban yang terbata-bata. Karena aku berusaha agar kiranya jawabanku tak mengundang pertanyaan lain lagi baginya. Aku juga berusaha memilah kata-kata yang kiranya mereka pahami juga, menggunakan bahasa anaklah, istilahnya.

Wah, rasanya aku seperti baru saja melewati jalanan yang berkelok-kelok, namun setelahnya lega karena kudapati kembali jalanan yang lurus. Haha, selebay itu. Tapi ini bukan kali pertama aku mendapatinya. Aku pernah dengan kondisi yang sama, yaitu belajar dengan siswa-siswaku. Mereka berempat kala itu. Kita lagi belajar ngaji. Usai belajar, kita membaca doa harian. Sampailah pada doa kedua orang tua, tentu mereka sangat lancar saat kuinstruksikan untuk membacanya. 

Akhirnya, setelah selesai membaca doa kedua orang tua itu, aku mulai memberikan wejangan-wejangan kepada mereka tentang sikap seorang anak kepada orang tua yang semestinya. Mereka antusias merespon, dan ada satu pertanyaan yang membuatku speechless juga. 

"Miss, kata guruku surga itu ada di bawah telapak kaki Ibu. Kalau begitu, sebenarnmya surga di dunia ini ada berapa banyak Miss? Kan banyak Ibu di dunia ini." Katanya polos dengan sangat polosnya menanti jawabku yang aku saja tak memikirkan ternyata ada juga pertanyaan semacam itu. 

Kujelaskan lagi dengan sesederhana mungkin agar mereka paham. Sederhana dengan menggunakan bahasa yang mereka pahami. Sesekali kuselipkan sebuah analogi agar mereka lebih paham lagi. Pulang dari situ, aku merenung. Itu baru pertanyaan yang seperti itu. Bagaimana kelak jika kudapati anak kecil yang bertanya padaku tentang Penciptaku. 

Aku yang mulai memikirkan, yang mulai merancang konsep didikan versiku nanti, yang mulai mengonsep setiap aktivitas yang akan kuhadirkan dalam rumah kecilku kelak, bagaimana aku tak memikirkan juga bagian ini? Bagian setiap pertanyaan yang mungkin akan lebih sulit lagi untuk kujawab. Bagaimana aku menjawabnya? Sungguh, memikirkannya saja, atau mempraktikkannya pada teman sendiri saja aku sudah bingung memikirkan jawabannya. 

Kadang sampai bilang, "jawab apa ya?" saking ngga tahunya. Sampai pusing sendiri mikirin jawabannya. Jadi, ini sebenarnya apa yang kurang? Apa yang harus dipersiapkan? Seketika juga aku ingat pola asuh Ibuku dulu, sosok yang kupanggil mama sampai sekarang. Beliau tidak pernah memperkenalkan aku pada sosok Pencipta Alam Semesta. Aku tak pernah tahu ilmu agama. Aku tak pernah dapat pengetahuan agama yang bisa kuingat lekat sampai hari ini kecuali bacaan sholat yang beliau ajarkan.

Itupun, aku sangat terpaksa menghapalkannya karena kalau tidak maka siap-siap aku akan menerima cubitannya. Haha, yaa itulah yang kuingat dulu. Tapi, aku senang sekali kala di sekolah aku jadi siswa yang paling tahu bacaan sholat, aku jadi siswa yang satu-satunya hapal surah Al-Fatihah di kelas. Tentu saja guru agamaku bangga padaku, bagaimana aku tidak bangga kepada diriku sendiri? Efeknya disitu. Aku mulai menyadari seiring bertambahnya usiaku. Ternyata yang selama ini aku hapalkan di depan mama adalah bacaan sholat. Disaat semua teman-temanku baru sibuk menghapalkan, aku sudah hapal semua bacaan sholat dari awal sampai akhir diusia enam tahun, kelas satu SD saat itu. 

Aku suka, aku suka bagian itu. Bagian yang memaksaku untuk mengahapalkan bacaan sholat. Hanya saja, semakin kupelajari, aku harus belajar lagi agar nanti tidak hanya sekadar menyuruh untuk menghapalkannya. Paling tidak, aku harus belajar bagaimana aku menjelaskan bahwa ini memang harus ditahu dan benar-benar kita membutuhkannya (re; bacaan sholat). Karena kurasakan betul, saat aku menghapalkannya kala itu, aku sungguh tak tahu untuk apa aku setiap hari menyetorkan hapalan itu pada beliau. Aku menggerutu sendiri, 'kenapa aku harus nangis dulu setiap malam sebelum tidur hanya gara-gara bacaan ini?' pikirku setiap malam dengan isakan tangis. Lucu sebenarnya, tangisan malam sebelum tidur itu aku dapatkan karena aku salah melafalkannya, atau ada bagian yang tidak kuingat.

Ya, benar. Penuh drama kala itu. 

Tapi, sekarang aku mulai belajar tentangnya. Anak-anak sebenarnya itu paham, kalau dipahamkan. Anak-anak itu ibarat gelas kosong yang benar-benar tak berisi apa-apa. Kosong. Sekarang, tergantung dari kita. Dikembalikan lagi kepada kita, mau mengisi gelas kosong itu dengan apa saja? Cara mengisinyapun berbeda, tinggal pilih cara yang seperti apa yang mau digunakan.

Lalu, jika kita tak punya bekal untuk itu, bagaimana bisa mengisinya? Kalau diri saja kosong, bagaimana bisa mengisi gelas yang kosong? Pada intinya, belajar itu perlu. Membekali diri dengan segala hal, apa saja. Karena siapa lagi yang akan jadi tempat bagi mereka mencari jawaban kalau bukan pada Ibunya sendiri. Seorang Ibu akan jadi sosok yang paling tahu segala hal bagi mereka, tempat mereka bertanya, tempat mereka berkeluh kesah, tempat mereka belajar juga yang paling penting.

Terlebih dari semuanya, tuliusan ini dibuat murni untuk diri.

Wahai diri, belajarlah. Bekali diri dengan ilmu agama, hal-hal sederhana sampai yang rumit sekalipun. Perlahan saja, hal rumit ini nanti bisa diisi sembari berjalan mengarungi kehidupan. Jangan lengah, lelah wajar tapi tetaplah semangat untuk belajar setiap hari. Membekali diri pada zaman sekarang ini tidak ada alasan lagi untuk tak menyempatkan waktu belajar selama satu jam dalam sehari. Jika kesibukan yang padat masih jadi alasan utama untuk enggan mendatangi majelis ilmu, belajar melalui youtube juga adalah salah satu alternatif yang bisa dilakukan.

Sedang aku, selalu berusaha menyempatkan waktu untuk belajar tentang kehidupan rumah tangga, mengenal karakter laki-laki dan perempuan, juga parenting. 

Mungkin, tulisan kali ini akan kusudahi dulu. Terimakasih buat kalian yang sudah berkenan baca. Semoga bermanfaat juga untuk kalian, yah. Sampai jumpa dipostingan selanjutnya :')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam kenal dari ViiJourney buat semua Sobey yang sempat baca tulisan dalam blog ini. Sini, tinggalkan komentar di bawah. Kita saling sapa :)