بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Nulis yang aku sukai aja, semoga bermanfaat juga buat kalian. Happy reading :)"

Pejuang ESPEDE: Part 11. Bimbingan Skripsi yang Penuh Drama

 
 
Hi, apa kabar? Apa kabar hati hari ini? Untuk semua lelah yang sampai hari ini terasa dipikul beratnya, bagaimana? Atau, sobat Vii adalah pribadi yang selalu bahagia, ya? Alhamdulillah jika benar demikian. Tapi, hari ini aku ingin tanya sekali lagi. Gimana kabar hatinya? Gimana perasaannya hari ini? Ada cerita apa yang tertahan hari ini sampai membaca tulisan ini dan mendapati pertanyaanku ini, masih saja belum membuat mulut berkata yang sejujurnya? Jangan ditahan, lepaskan. 
 
Segala lelah, penat, beban, luka yang perih, lampiaskan. Sederhana, cukup jawab pertanyaanku dan ceritakanlah. Kalian boleh bercerita melalui tulisan, atau cerita ala kadarnya saja. Bisa juga melalui rekaman, agar abadi. Ah, aku suka segala hal yang bisa diabadikan. Karenanya, aku jadi bisa melihat prosesku dulu, aku bisa berbisik bangga seenggaknya biar cuma sama diri sendiri, bahwa;
 
Hei, itu aku yang dulu. Sekarang sudah sampai sejauh ini perjalananku. Ternyata perjalananku dulu, pilu. Tapi hari ini, aku bahagia. Terimakasih masa lalu.
 
Ya, akan ada saatnya kita akan mengatakan hal itu pada diri kala menengok kembali perjalanan yang pernah dilewati melalui segala hal yang diabadikan. Seperti, tulisan ini. Kelak, aku akan membacanya kembali. Maka akan kudapati diri yang tengah tersenyum pada diri di masa lalu, juga bangga padanya dimasa lalu. 
design by viijourney (Sumber: canva.com)

Part ini, istimewa. Mungkin sebagian orang mengatakan bahwa cerita seperti ini biasa saja. Bagiku, tidak. Sangat tidak. Ujian kala menyelesaikan skripsi itu memang beda-beda ya. Saat memulai, aku diuji dengan mood yang hampir tak mampu kukendalikan. Pendaftaran seminar proposalku sampai pada tahap ujiannya, aku harus menunggunya hampir dua bulan. Sangat disayangkan waktu dua bulan itu yang harus terbuang, pikirku. Padahal, dalam waktu dua bulan, setidaknya aku sudah bisa menyelesaikan penelitian (kalau saja sesuai rencana). Tapi ternyata rencana Allah beda, dan itu indah. 

Tahap pengerjaan alhamdulillah lancar, drama membuka NB kesayanganku lalu berakhir hanya dengan satu atau dua pragraf revisian juga pada akhirnya kelar dalam waktu yang terbilang cepat. Aku memang cuma butuh keberanian melawan mood--ku yang terlalu berlebihan saja. Tahap bimbingan skripsi beda lagi, masyaAllah. Makin diuji banget, pokoknya. Aku pernah mendengar cerita tentang kawan seperjuanganku yang sedang dalam tahap yang sama memilih untuk mandek mengerjakan serba-serbi skripsinya. Ini dikarenakan tak tahan pada dosen pembimbingnya yang entahlah. Aku tak tahu persis seperti apa pastinya.

Saat itu, aku berpikir bahwa "Ah, dosen pembimbingku baik-baik saja. Tidak ada masalah apa-apa, justru pengerjaan proposalku dapat kutuntaskan dalam kurun waktu sebulan lebih."

Berarti tidak ada masalah, kan? Ternyata Allah berkehendak lain. Untuk mengisi kehadiran pada kartu kontrol pembimbingan skripsiku bertambah menjadi satu saja aku harus menghabiskan satu bulan lebih. Nyatanya, salah satu dosen pembimbingku selalu menolak kami. Beliau hanya bisa ditemui sekali dalam seminggu, jam empat sore sampai magrib. Sebulan penlokaan, berarti kamu sudah empat kali datang dalam sebulan, dan tak dibimbing jua dalam kurun waktu tersebut. Kalian bisa bayangkan bagaimana kami para mahasiswa bimbingannya berlomba-lomba untuk segera datang agar bisa dibimbing olehnya? 

Satu sampai dua jam menunggu, beliau pulang dan melihat kami sudah berkumpul di depan rumahnya. Dengan ekspresi wajah yang datar, begitu datar tanpa rasa iba menyuruh kami pulang. Masih ingat betul, kala itu;

"Saya tidak menerima pembimbingan hari ini ya. Kalau tandatangan bisa, ada yang mau ditandatangani?" Katanya.

Oh Allah, bagaimana bisa langsung ditanda tangani, sedangkan ini adalah kali pertamaku datang setelah aku berdrama dengan analisis data penelitianku? 

Minggu selanjutnya, sama. Kami pulang dengan kekecewaan, tapi kali ini alasannya lelah karena baru pulang dari rumah sakit.  

Minggu selanjutnya, masih sama. Malah kali ini aku datang sendirian. Aku hanya sendirian di teras rumahnya, seperti biasa dengan pintu tertutup. Hujan turun dengan lebatnya, petir menyambar teras dengan kilau yang semakin membuatku takut. Tiba-tiba, pintu terbuka. Kudapati beliau dosen pembimbingku dengan style daster rumahannya membukakanku pintu. Alhamdulillah, pikirku. 

"Kamu tidak dapat info, ya?"
"Info apa bu?" jawabku dengan wajah lugu penuh ketidaktahuanku.
"Saya sudah sebar digrup kalau hari ini tidak ada dulu pembimbingan." Jawabnya tegas.

Hanya anggukan dan senyum keterpaksaan mencoba untuk menetralisir rasa kecewa yang akhirnya tertutupi karena malu yang lebih mendominasi. Jelas saja aku tak dapat info apapun, aku bahkan tidak tahu ternyata ada grup seperti itu. Ya, grup itu ada karena beliau adalah dosen bahasa inggris. Sehingga semua kawan sepenantianku yang sama duduk di teras rumahnya ba'da ashar itu adalah mahasiswa dari jurusan bahasa inggris. Hanya aku yang dari jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Bagian ini, kalian pasti bingung, kan? Kok mahasiswa PGSD dibimbing sama dosen bahasa inggris. Hehe, panjang ceritanya kalau mau dideskripsikan.

Baiklah, hari itu aku menunggu hujan reda, sampai akhirnya pulang dengan keadaan skripsi yang sama yaitu belum disentuh sama sekali untuk direvisi. Menyerah? Tidak sama sekali. Aku masih tetap datang meski beberapa kali setelahnya masih dengan keadaan yang sama. 

"Bagaimana bisa selesai cepat jika seperti ini terus?" kataku suatu hari dalam tangisku.

Tuntutan semakin berat, orangtua tak pernah berhenti menanyaiku akan proses skripsiku sudah sampai dimana. Mama, lebih tepatnya. Aku pernah, saat kujelaskan dengan rinci keadaanku, mama justru menyalahkanku. Disaat aku butuh dukungan lebih untuk tetap semangat melanjutkan perjuanganku menemui dosen pembimbingku, justru beliau menimpaliku dengan kalimat yang bagiku tak seharusnya diutarakan. Aku tak mampu berkata lagi, hingga aku hanya diam membisu dan sesekali sesegukan. Mungkin beliau mendengarku yang tengah sesegukan, hingga memilih untuk mematikan telepon tersebut.

Tak mampu kubendung lagi setelahnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis seperti anak kecil yang tak dibelikan barang kesukaannya. Aku menangis sekencang mungkin di dalam kamar kosku. Aku tak peduli lagi. Seketika, kalimat yang dilontarkan mama seakan terngiang-ngiang terus menerus bak lagu favorite yang selalu kusenandungkan tanpa sengaja. Saat kalimat itu terlintas, aku selalu memutar kembali memoriku tentang perjuanganku menyelesaikan semua ini. Memangnya dimana letak kesalahanku? Aku sudah berusaha menyelesaikannya. Toh, aku tak bersantai ria. Entahlah.

Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan sedihku. Dua jam aku habiskan waktuku untuk meratapi semuanya dengan linangan air mata yang akhirnya membuat mataku sembab.

"Padahal aku juga berjuang menyelesaikan ini karenanya. Demi dia, yang selalu ingin kubahagiakan tapi tak tahu bagaimana caranya," kalimat pembelaan itu selalu kuucap hanya untuk kudengar sendiri. Se-dramatis itu yah. Sungguh, dalam masa pengerjaan skripsi itu, bagian itu adalah yang paling sulit diantara semuanya. Aku disangka tak serius mengerjakannya. Tapi, suatu ketika aku sadar. Wajar jika orang tua seperti itu. Melihat mahasiswa lainnya yang sudah menyelesaikan studinya, tinggal menunggu wisuda, lantas aku masih saja berjuang dengan skripsiku. Hanya kalimat itu yang menenangkanku, sampai aku tetap bisa menjalaninya kembali.

Ujian perjalanan setiap individu dalam mencapainya, tentu beragam. Tujuan kita sama, kawan. Hanya saja pilihan jalan, kendaraan dan kecepatan kita saja yang berbeda. Dosen pembimbing bisa diibaratkan sebagai maps kita. Tentu berbeda, kan? Mana bisa disamakan, kecuali dosen pembimbing kita sama  dan dikerjakan dalam jangka waktu yang sama pula, dengan semangat yang sama pula, dan semuanya serba sama, maka tak akan jauh beda endingnya. Tapi, yang demikian tentu jarang didapatkan. Dosen pembimbing yang sama, semangat pasti berbeda. Antusias mengerjakan sama, kendala setiap individu jug aberbeda yang kitapun tak tahu datangnya darimana saja. 

Yang pasti, aku tak salah memberikan judul part ini dengan tambahan kalimat yang penuh drama. Karena memang benar demikian.

Eh, tapi kalian tahu tidak? Setelah drama sesegukan dalam telepon bersama mama kala itu, aku sedikit takut menerima telepon darinya. Takut kalau beliau menanyakanku hal yang sama lagi. Tak kuduga, ada yang berbeda ternyata. Setelah insiden hari itu, setiap menelepon, beliau tidak pernah lagi menanyaiku soal skripsi. Padahal aku sudah menyiapkan jawaban yang sekiranya ditanya akan kuberikan jawaban yang jujur, dan pastinya tidak mengecewakan. 

Tapi ternyata tidak pernah ada lagi topik skripsi dalam pembicaraan kami di telepon. Entah aku harus senang atau tidak, yang pasti aku sedikit lebih tenang. Setidaknya, dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa beliau telah sepenuhnya percaya padaku, terimakasih ya Allah. Terimakasih, mama :')

Dan, part kali ini melow sekali yah. Buat kamu pejuang skripsi yang juga bimbingan skripsinya penuh drama, bersabarlah. Memintalah selalu kemudahan pada-Nya. Jangan pernah tinggalkan sholat Dhuha setiap pagi, minta kemudahan pada hari itu. InsyaAllah, akan banyak kemudahan yang akan kalian dapatkan setelahnya. Minimal, ketenangan hati dalam memperjuangankan. Sungguh nikmat tak terkira jika hai itu bimbingan kalian lancar tanpa hambatan. Itu sudah lebih dari cukup. Semangat yaaa. Pokoknya, semangat.

Terimakasih buat kalian yang sudah berkenan baca curhatan ini, sampai jumpa dipart-part selanjutnyaaa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam kenal dari ViiJourney buat semua Sobey yang sempat baca tulisan dalam blog ini. Sini, tinggalkan komentar di bawah. Kita saling sapa :)