بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Nulis yang aku sukai aja, semoga bermanfaat juga buat kalian. Happy reading :)"

Cerpen: AKU INGIN SEKOLAH


AKU INGIN SEKOLAH
OLEH: VISTA ALNIA PRATIWI
Kumandang suara adzan saat subuh membuat mataku tak dapat terpejam kembali. Segara aku bangun dari tidurku dan beranjak untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim untuk shalat subuh. Melihat ibuku di dapur membuat kue jajanan yang akan dijual siang hari nanti sudah menjadi kebiasaanku setiap harinya.
“Sudah shalat Ton?” tanya ibuku. “Sudah bu, mana yang mau dijual? Apa sudah siap semua?” jawabku sembari melontarkan pertanyaan kembali pada ibuku. “Iya, nanti kamu jualannya di samping sekolah saja ya, disana pasti kuenya banyak yang laku. Karena kemarin ibu dengar-dengar sekolah itu sedang mengadakan porseni, supaya kamu juga tidak lama-lama jualannya” kata ibuku. “Iya bu” jawabku dengan singkat.
Itulah aku, nama keseharianku di panggil Tono. Aku hidup di daerah pelosok di Sulawesi Tengah dengan ibuku, sedangkan ayahku telah lama tiada. Hal ini yang membuatku merasa memiliki tanggung jawab di rumah kami. Kami hidup dengan sangat kekurangan, sehingga untuk membantu biaya hidup kami sehari-hari, aku membantu ibuku berjualan kue yang dibuatnya dikala malam menjelang subuh. Jika aku sekolah, aku tepatnya duduk di bangku kelas 2 SMP. Sejak tamat SD, aku tidak lagi melanjutkan sekolahku, dikarenakan masalah biaya. “Untuk makan sehari-hari saja sudah sangat susah, apalagi kalau aku sekolah” pikirku ketika itu.
Setelah selesai menyiapkan segalanya, aku berangkat untuk menjajakan kue yang telah dibuat ibuku. Sesuai pesan ibu, aku pergi ke sekolah dan duduk di samping sekolah tempat orang berlalu-lalang untuk menawarkan kue yang kujual. Terkadang melihat semua teman-teman yang selalu setiap pagi pergi ke sekolah membuatku iri. Karena di lubuk hatiku yang paling dalam, aku ingin sekali merasakan pergi ke sekolah dan bisa mendapatkan ilmu seperti mereka.
Ketika aku masih duduk di bangku SD, aku bermimpi untuk menjadi seorang dokter. Entah mengapa, setiap kali aku melihat orang sakit, selalu terbesit dalam pikiranku untuk membantunya agar ia bisa sembuh dari sakitnya. Namun, takdir berkata lain. Menjadi seorang dokter harus melewati tahap pendidikan. Sedangkan aku? Aku tidak bisa mewujudkan mimpiku karena kewajiban untuk membantu orang tuaku membiayai hidup kami.
“Hei, aku mau dong kuenya, dua ribu yah” suara anak laki-laki yang membuyarkan lamunanku seraya menunjuk pada kue yang ingin dibelinya. “Oh, iya. Nih kuenya”. Kataku sembari memberikan kuenya. Ia memberiku uang lima puluh ribu, aku bingung. Karena aku belum memiliki uang kembalian sebanyak itu. “Aduh, kamu tidak punya uang pas ya?” tanyaku kebingungan. “Tidak punya” jawabnya singkat. Aku kebingungan memikirkan kembalian yang akan kuberikan padanya. Jualanku saja jika laku semua, tak sampai sebanyak ini bisa ku dapatkan. “Ya sudah kalau begitu, kamu ambil saja  kuenya. Aku tidak memiliki uang kembalian” kataku lagi.
Lalu aku pergi membawa jualanku meninggalkan ia di tempat jualan tadi sambil terus menatapku dengan penuh kebingungan. Aku pulang ke rumah sambil menjajakan jualan yang belum habis. Alhamdulillah,jualan ibu telah habis sebelum aku sampai di rumah. Kulihat ibuku menungguku di depan rumah dengan penuh harapan jualan yang ku bawa habis terjual. Aku tersenyum pada ibuku, mamberikan tanda bahwa jualan telah laris terjual. Ibuku membalas senyum penuh kegirangan.
Assaalamu’alaikum bu?” kuucapkan salam sembari mencium tangan ibuku. “Wa’alaikumsalam nak, ayo kita masuk Ton. Kamu lekas mandi ya, ibu sudah menyiapkan makan untuk kamu. Ada di meja makan nak.” Kata ibuku. “iya bu, Tono mandi dulu kalau begitu, ini hasil jualan tadi bu. Bu, tadi ada anak laki-laki yang sebaya dengan Tono beli kuenya. Tapi, uangnya lima puluh ribu, Tono bingung dengan uang kembaliannya. Jadi Tono langsung kasih saja kuenya bu, tidak apa-apa kan?” Kataku pada ibuku. Ibu lalu duduk berlutut di depanku sambil mengusap kepalaku dan berkata, “Iya nak, tidak apa-apa. Kita juga tidak bisa langsung mengambil semua kembaliannya. Tindakan mu sudah benar” Kata ibu dengan tenang. Aku pun tersenyum mendengar ibuku berkata seperti itu.
Keesokan harinya, seperti biasa aku beraktifitas kembali menjajakan kue buatan ibuku. Aku duduk di tempat kemarin karena menurutku tempat itu sangat strategis. Sudah dua jam aku duduk dan lumayan banyak kue yang telah terjual. Tak lama kemudian, ada suara yang tak asing ku dengar. “Hai, kamu lagi ya. Aku mau dong kuenya tiga ribu deh. Nih uangnya pas lima ribu, kan kue kemarin aku belum bayar.” Katanya seraya memberiku uang lima ribu. “Oh, iya. Nih kuenya.” Jawabku sembari memberinya kue jualanku. “Kamu sekolah disini ya?” Tanyaku lagi. “Iya, kalau kamu sekolah dimana?” Jawabnya sambil melontarkan pertanyaan lagi kepadaku. “Aku tidak sekolah, keseharianku membantu ibuku menjual kue. Kamu bukannya sudah masuk kelas ya?” Jawabku. “Ohh, begitu ya. Ah malas aku masuk kelas. Itu mata pelajaran yang tidak aku sukai, gurunya galak dan membosankan. Jadi aku bolos untuk pelajaran ini” Katanya sambil tertawa. “Kamu tidak boleh seperti itu, aku saja yang ingin sekolah, tidak bisa sekolah karena masalah biaya. Sedangkan kamu, orang tua kamu mampu loh menyekolahkan kamu. Jadi kamu harus rajin belajar.”kataku menasehatinya.
Saat sedang asik-asiknya berbincang, ada seorang anak perempuan yang memangilnya, “Eh, Ryan, ngapain kamu disitu? Ayo cepat masuk, kamu mau dijemur lagi di lapangan sambil hormat bendera?” Katanya dengan mengancam Ryan yang akhirnya kuketahui namanya. “Ah, berisik banget sih kamu. Iya aku pergi sekarang.” Jawab Ryan. Ia berlari sambil pamit kepadaku dengan malambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Aku membalas senyum dan lambaian tangannya.
Aku terus menunggu jualanku habis, setelah itu aku pulang kerumah. Seperti biasa, ibu selalu menanti kedatanganku di depan rumah kami. Aku menyerahkan hasil yang ku peroleh hari ini dan mandi lalu beristirrahat. Begitulah keseharianku, setelah tamat SD aku tidak pernah lagi belajar tentang pelajaran sekolah. Saat aku masih sekolah, dimalam hari selalu kuperguanakan waktuku untuk belajar.
 “Mengapa mereka yang mampu untuk membiayai sekolahnya, tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh? Padahal masih banyak anak-anak di negeri ini yang ingin sekolah namun mereka tidak bisa melanjutkan sekolah karena masalah biaya. Kapan aku bisa sekolah?” pikirku. “ada apa nak?” Tanya ibuku. “tidak apa-apa bu, Tono hanya rindu dengan suasana belajar di sekolah Tono dulu waktu masih SD.” Jawabku. Dengan sedikit terisak, ibuku menjawab “Maafkan ibumu ini nak, ibu seharusnya menyekolahkan kamu, tapi kamu malah membantu ibu berjualan kue.” Tak tega melihat ibuku, aku duduk di samping ibuku sambil memegang tangannya, “Bu, Tono tidak pernah menyesal membantu ibu untuk berjualan kue. Ibu tidak pernah salah, ini adalah keputusan Tono bu.” Kataku lalu memeluk erat ibuku.
Esok hari kujalankan lagi aktifitasku seperti biasa, kulihat ibuku terseyum padaku saat memberikan kue buatannya. Aku pamit untuk berjualan lagi. Aku duduk di samping sekolah yang biasa ku tempati. Lagi-lagi aku mendapati Ryan disana. Ternyata ia menungguku untuk membeli kue buatan ibuku, “Kenapa lama banget datangnya Ton?” tanyanya padaku. “Kamu yang terlalu cepat datangnya” jawabku. Ia hanya tersenyum mendengar jawabanku.
Kami berbincang-bincang dan bercanda bersama. Aku merasa akrab sekali dengan Ryan, dia anak yang pandai bergaul dan tidak sombong. Terkadang, ia membantuku menjajakan kue jualanku. Tak lama kemudian, bel sekolah pun berbunyi dan Ryan pamit untuk masuk ke kelas. Aku kembali sendiri, duduk sambil menjajakan kue jualanku. Saat akan beranjak untuk pulang, aku dikagetkan oleh Ryan yang datang dan langsung memukul pundakku. “Eh Ton, sudah laku semua ya kuenya?” tanyanya. “Iya nih, aku mau pulang. Kamu mau kemana?” tanyaku padanya, karena ia selalu mengikuti jalanku. “Mau ke rumah kamu. Aku juga mau lah jalan-jalan ke rumah teman aku.” Jawabnya lagi. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
Setelah lumayan lama berjalan, akhirnya kami pun sampai di rumah aku dan ibuku yang sangat sederhana namun bagiku rumah itu adalah pelindung terbaik yang ada dan hanya satu-satunya ada di dunia ini. Aku mendapati lagi ibuku menunggu kedatanganku di depan rumah. Segera aku mencium tangan ibu dan begitu pula Ryan. Ibu sangat senang melihat aku membawa temanku ke rumah. Ibu lalu menyiapkan makan untuk aku dan juga Ryan. Sedang aku dan Ryan menunggu di dalam kamarku.
“Oh iya Ton, ini adalah pelajaran yang kupelajari hari ini.” Katanya sembari memberikan aku beberapa buku. “Maksud kamu? Emangnya kenapa?” tanyaku bingung. “Kan kamu ingin banget sekolah, tapi kamu ga punya biaya, jadi mulai sekarang aku akan kasih tau kamu pelajaran yang aku pelajari setiap harinya dan kalau aku mengerti, aku akan jelaskan sama kamu.” Jawabnya dengan jelas. “Kamu tidak perlu repot-repot Yan, aku sudah lama tidak belajar sejak tamat SD, aku tidak tahu apa-apa.” Kataku padanya sembari mengembalikan buku Ryan.
Namun, ia memberikan lagi buku itu dan berkata, “Itulah Ton, mengapa kita harus belajar. Kamu sekarang mungkin belum tahu, tapi kalau sudah belajar kamu pasti akan tahu. Pokoknya kamu catat semua yang ada dalam buku itu, besok bawa bukunya karena aku mau pake belajar lagi di sekolah.” Kata Ryan. “Aku  `iri sama kamu Ton, kamu mempunyai minat untuk sekolah dan belajar. Namun, karena biaya kamu tidak bisa bersama kami ikut bersekolah dan belajar. Aku baru sadar bahwa aku harus bersyukur karena aku masih bisa sekolah dan aku banyak belajar dari kamu. Jadi, sekarang kita saling berbagi saja, oke?” tambahnya lagi.
Aku tidak bisa menolak lagi, sehingga langsung ku setujui. Lalu kami dipanggil ibuku untuk segera makan. Kami makan bertiga. Aki merasa memiliki keluarga baru dan ibuku sangat menyukai Ryan, karena ia pandai bergaul. Baru saja bertemu dan berkenalan dengan ibuku, ia sudah terlihat sangat akrab. Selesai makan, ia pamit pulang dan berkata bahwa ia akan sering-sering datang di rumah kami. Ryan lalu mencium tangan ibuku dan pergi. Aku bangga mengenalnya, ia anak yang baik meskipun diawal pertemuan kami, aku sempat berfikir bahwa ia anak yang acuh dengan sekolahnya.
Sejak saat itu, Ryan selalu bersama denganku sepulang sekolah hingga sore hari baru pulang ke rumahnya. Ia juga selalu menemani dan membantuku berjualan kue dan berbagi pelajarannya di sekolah. Aku berharap suatu saat negeri ini bisa memberikan perhatiannya pada anak-anak seperti kami yang tidak bisa bersekolah dikarenakan masalah biaya. Agar tidak ada lagi anak bangsa ini yang tidak bersekolah.