بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Nulis yang aku sukai aja, semoga bermanfaat juga buat kalian. Happy reading :)"

Makalah Pengantar Pendidikan : Masalah Pendidikan dan Penanggulangannya






BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Berbicara perihal pendidikan maka kita juga akan membicarakan tentang kehidupan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berjalan hampir selama kehidupan ini terbentuk. Ketika manusia dilahirkan di muka bumi ini, maka ia akan mulai belajar hingga kelak ia meninggalkan dunia ini. 
Selain itu pendidikan juga memainkan peranan yang sangat penting bagi bangsa dan Negara yaitu dalam membentuk kepribadian generasi penerus suatu bangsa. Kekuatan dan kelemahan suatu bangsa ditentukan oleh seberapa matang dan dewasanya pemikiran dari warganya. Sehingga melalui pendidikan diharapkan manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran yang diakui oleh masyarakat.
Di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia-manusia yang cerdas, bertanggung jawab, bermoral, berkepribadian luhur, bertaqwa, dan memiliki keterampilan. Pendidikan dijadikan salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan ini sangat penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan yaitu sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah makalah yang berjudul “Permasalahan Pendidikan” dengan membahas lebih lanjut mengenai permasalahn pokok pendidikan, factor penyebab serta penanggulangan nya yang bisa dilakukan.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.2.1. Apa yang menjadi masalah pokok pendidikan di Indonesia?
1.2.2. Apa jenis permasalahan pendidikan di Indonesia?
1.2.3. Apa faktor yang mempengaruhi masalah pendidikan di Indonesia?
1.2.4. Bagaimana penanggulangan masalah pendidikan tersebut?
1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1.    Untuk mengetahui masalah pokok pendidikan di Indonesia.
1.3.2.    Untuk mengetahui jenis permasalahan pendidikan di Indonesia.
1.3.3.    Untuk mengetahui faktor yang memengaruhi perkembangan masalah  pendidikan di Indonesia.
1.3.4.    Untuk mengetahui penanggulangan masalah pendidikan
1.4  Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang bisa diambil dari makalah ini adalah :
1.4.1        Bagi Penulis, bahwa melalui pembuatan makalah ini dapat dijadikan sebagai penambah wawasan dan pengalaman dalam menulis.
1.4.2        Bagi Pembaca, yaitu melalui pembuatan makalah ini maka dapat menambah wawasan pembaca mengenai masalah-masalah pokok pendidikan di Indonesia serta cara penanggulangan masalah pendidikan tersebut.
1.5  Metode Penulisan
Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode pustaka.
1.6  Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini terdiri atas BAB 1 Pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, manfaat/kegunaan,tujuan, metode, dan sistematika penulisan. BAB 2 berisi pembahasan, dan BAB 3 penutup yang berisi kesimpulan dan saran.







BAB 2
PEMBAHASAN

2.1  Masalah Pokok Pendidikan
Pendidikan mempunyai tugas dalam mempersiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Dalam hal ini suatu system pendidikan harus memiliki hubungan yang selaras dengan pembangunan nasional. Dengan kata lain sistem pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman pun memunculkan berbagai persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Upaya untuk membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek, serta bermoral dan berbudaya melalui pendidikan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal ini di sebabkan oleh dunia pendidikan yang masih menghadapi berbagai masalah. Permasalahan-permasalahan pendidikan pun berkembang seiring dengan tuntutan jaman. Permasalahan pendidikan ini merupakan suatu kendala yang menghalangi tercapainya tujuan pendidikan.
Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita, yaitu:
1        Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
2        Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Dari kedua masalah pokok tersebut, maka permasalahan pokok yang pertama yaitu mengenai masalah pemerataan pendidikan dan masalah pokok yang kedua menyangkut masalah mutu, efisiensi dan relevansi pendidikan.
2.2     Jenis-Jenis Permasalahan Pokok Pendidikan
Dalam lingkup nasional, telah ditetapkan empat masalah pokok pendidikan yang dirasa perlu untuk diprioritaskan penanggulangannya. Empat masalah pokok tersebut yaitu:

a.       Masalah pemerataan pendidikan
b.      Masalah mutu pendidikan
c.       Masalah efisiensi pendidikan
d.      Masalah relevansi pendidikan
Berikut ini akan dipaparkan lebih lanjut mengenai keempat permasalahan pokok pendidikan tersebut beserta upaya penanggulangannya.
1        Masalah Pemerataan pendidikan
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Saat ini paradigma pendidikan di Indonesia harus dicermati, khususnya mengenai kesempatan belajar, kesetaraan pendidikan, layanan komprehensif, memaksimalkan fungsi sekolah, serta orientasi layanan sesuai kebutuhan. Hal ini dilakukan agar pemerataan pendidikan bisa menyeluruh.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemerataan berasal dari kata dasar rata, yang berarti:
1) meliputi seluruh bagian,
2) tersebar kesegala penjuru, dan;
3) sama-sama memperoleh jumlah yang sama.
Sedangkan kata pemerataan berarti proses, cara, dan perbutan melakukan pemerataan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemerataan pendidikan adalah suatu proses, cara dan perbuatan melakukan pemerataan terhadap pelaksanaan pendidikan, sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan pelaksanaan pendidikan.
Dalam rangka memajukan bangsa dan kebudayaan nasional serta melaksanakan fungsi dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas demi pembangunan, maka perlu ditekankan bahwa pendidikan di  Indonesia harus mampu menerapkan pelaksanaan pendidikan yang merata. Adapun yang dimaksud pelaksanaan pendidikan yang merata adalah  pelaksanaan program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan atau biasa disebut perluasan kesempatan belajar. Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu equality dan equity. Equality atau persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Sehingga dalam hal ini masalah pemerataan pendidikan dikatakan  timbul apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat menganyam pendidikan atau dapat dikatakan tidak dapat ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia.
Permasalahan Pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara pemerintah pusat dengan daerah. Sehingga menyebabkan kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daerah-daerah terpencil. Jadi hal ini akan mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia yang dalam usia sekolah, tidak dapat mengenyam pelaksanaan pendidikan sebagaimana yang diharapkan.
Perkembangan upaya pemerataan pendidikan berlangsung secara terus menerus di Indonesia. Sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004 (TAP MPR No. IV/MPR/1999) mengamanatkan, antara lain:
1)      Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti,
2)      Meningkatkan mutu lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk menetapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, olah raga dan seni.
Sejalan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
2        Masalah Mutu Pendidikan
Mutu diartikan sama halnya dengan memiliki kualitas dan bobot. Pendidikan yang bermutu yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghasilkan tenaga profesional yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini. Dalam dunia pendidikan, mutu pendidikan menjadi sorotan karena sangat berperan besar dalam menentukan kualitas sumber daya manusia yang telah tercetak melalui pendidikan. Sejalan dengan proses pemerataan pendidikan, peningkatan mutu untuk setiap jenjang pendidikan melalui persekolahan juga dilaksanakan. Peningkatan mutu ini diarahkan kepada peningkatan mutu masukan dan lulusan, proses, guru, sarana dan prasarana, dan anggaran yang digunakan untuk menjalankan pendidikan.
Mutu pendidikan menjadi suatu permasalahan apabila hasil dari pendidikan tersebut belum mampu mencapai taraf yang diharapkan yaitu menghasilkan keluaran berupa tenaga profesional yang berguna bagi bangsanya.
Jika tujuan dari pendidikan nasional dijadikan sebagai kriteria kelulusan suatu mutu pendidikan, maka keluaran dari suatu system pendidikan menjadikan pribadi yang bertaqwa, mandiri dan berkarya, anggota masyarakat yang yang social dan bertanggung jawab, warga Negara yang cinta pada tanah air dan memiliki rasa kesetiakawanan social. Dengan demikian keluaran tersebut diharapkan mampu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan juga lingkungan.
Terkadang orang-orang melakukan penilaian salah terhadap mutu pendidikan. Banyak yang berpendapat bahwa mutu pendidikan dapa dinilai melalui hasil akhir belajar siswa, misalkan saja nilai UN (Ujian Nasional). Sesungguhnya mutu pendidikan yang baik hanya akan didapatkan oleh seseorang setelah melalui proses belajar yang baik pula. Memahami dan mengikuti dengan baik proses belajar sehingga diharapkan dapat menunjukkan hasil belajar yang bermutu. Meskipun hasil tes akhir terlihat memuaskan dari segi nilai, namun jika tidak mengikuti proses dengan baik maka hal hasil tidak akan tercipta keluaran yang berumutu secara pribadi masing-masing. Sehingga proses suatu pendidikan sangat menentukan mutu pendidikan.
Masalah mutu pendidikan yang harus disoroti dan diusahan penanggulangannya di Indonesia adalah masalah pemerataan mutu pendidikan teruama antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Pemerataan ini sangat penting adanya agar peningkatan mutu pendidikan dirasakan oleh semua siswa di berbagai pelosok tanah air sehingga nantinya memberi dampak posiif terhadap munculnya banyak keluaran yang professional di tanah air ini.
3        Masalah efisiensi pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan.
Adapun beberapa masalah berkenaan dengan efisiensi pendidikan adalah:
1)      Bagaimana tenaga pendidikan difungsikan
2)      Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan
3)      Bagaimana pendidikan diselenggarakan
4)      Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga
Jika penggunaannya tepat sasaran maka dapat dikatakan efisiensinya tinggi. Namun jika terjadi yang sebaliknya maka dikatakan pendidikan memiliki efisiensi rendah. Jika dikaitkan dengan permasalahan nyata di masyarakat, maka masalah efisiensi pendidikan yang perlu memperoleh sorotan yaitu perihal pengangkatan, penempatan dan pengembangan tenaga.
Pengangkatan yang dimaksud disini adalah pengangkatan tenaga kependidikan untuk memenuhi kebutuhan dilapangan. Namun masalah yang terjadi dalam pengangkatan ini adalah kesenjangan antara tenaga yang berlomba-lomba untuk mendapatkan pengangkatan dengan quota pengangkatan yang sangat terbatas. Kebutuhan lapangan tidak mampu menampung semua tenaga kependidikan yang ada sehingga hal ini berarti keberadaan tenaga tersebut tidak dapat segera difungsikan.
Begitu pula dengan masalah penempatan, di Indonesia masalah penempatan guru masih saja terjadi dalam lingkungan pendidikan. Seringkali ditemukan bahwa seorang guru mengajar suatu bidang studi yang tidak sesuai dengan lulusannya. Hal ini juga dikarenakan oleh masalah jatah pengangkatan  yang kurang efisien sehingga ada sekolah dengan jumlah guru bidang studi tertentu berlebihan namun kekurangan guru untuk suatu bidang studi. Sehingga kebberadaan guru yang berlebihan akan dialokasikan oleh sekolah untuk mengajarkan bidang studi yang gurunya kurang meskipun diluar kewenangan guru tersebut. Misalkan saja guru IPA harus mengajarkan budi pekerti atau agama. Hal ini tentu menunjukkan bahwa kurangnya efisiensi dalam pemanfaatan atau memfungsikan tenaga kependidikan.
Jika ditinjau dari masalah pengembangan tenaga kependidikan maka kaitannya adalah penanganan pengembangan tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat. Sebagai salah satu contohnya yaitu kesiapan tenaga kependidikan dalam menyambut kurikulum baru. Meskipun ada suatu pembekalan namun para tenaga kependidikan seringkali beranggapan bahwa perubahan kurikulum terlalu cepat dan tidak dibarengi oleh kesiapan dari tenaga pendidik. Kesiapan ini kurang dikarenakan pengembangannya dilapangan juga sangat lambat yaitu berupa penggalakan penyuluhan, latihan, lokakarya serta penyebaran buku panduan baru yang kurang cepat dalam pelaksanaannya. Sehingga masih ada istilah keterlambatan. Keputusan untuk memberlakukan kurikulum ini pun menjadi perbincangan pro dan kontrak sehingga memerlukan waktu lama untuk menyepakatinya. Sehingga hal ini dianggap bahwa proses pendidikan kurang efektif dan efisien.
Masalah efisiensi dalam penggunaan sarana dan prasarana sering juga terjadi dalam dunia pendidikan. Kurangnya perencanaan dalam pengadaan sarana dan prasarana dapat menjadi satu faktor penyebabnya. Sebagai salah satu contoh yaitu adanya pengadaan sarana pembelajaran tanpa dibarengi dengan pembekalan kemampuan dan keterampilan dari pemakai. Seperti berbagai alat peraga matematika yang disebarkan ke berbagai sekolah namun sesampainya disekolah tersebut alat tidak dapat difungsikan dengan baik karena kurangnya pengetahuan pemakai dalam penggunaannya. Selain itu keberadaan buku-buku paket juga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal disaat adanya perubahan kurikulum dalam kurun waku cepat, dimana buku harus menyesuaikan kurikulum. Sehingga dalam hal ini untuk perencanaan sarana dan prasarana harus disiapkan dengan matang sehingga dapat meminimalisasikan tingkat kerugian yang harus dialami.
4        Masalah Relevansi Pendidikan
Sesuai dengan tujuan dari pendidikan ialah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Oleh karena itu sistem pendidikan harus dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Jika hal itu tidak dapat teratasi maka telah mencakup masalah relevansi pendidikan.
Masalah relevensi adalah masalah yang timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan dengan keperluan pembangunan nasional. Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau institusi yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Masalah relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau bahkan tidak siap untuk bekerja.
Pendidikan merupakan faktor penunjang bagi pembangunan ketahanan nasional. Oleh sebab itu, perlu keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dengan pembangunan nasional tersebut. Sebagai contoh pendidikan di sekolah harus di rencanakan berdasarkan kebutuhan nyata dalam pembangunan nasional kedepannya yang telah terencana, serta memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang di perlukan sesuai dengan keadaan lingkungan di wilayah-wilayah lingkungan tertentu.
Luaran pendidikan dalam hal ini diharapkan dapat mengisi beraneka ragam sektor pembangunan seperti produksi, sektor jasa dan lain-lain baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan mampu memmenuhi segala tuntutan pembangunan nasional tersebut maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
2.3  Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan antara lain: perkembangan iptek dan seni, laju pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat dan keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan.
1.      Perkembangan iptek dan seni
Seiring dengan perkembangan globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi memgalami perkembangan yang begitu pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut memiliki pengaruh besar dalam perkembangan segala bidang kehidupan. Salah satu diantaranya berdampak pada pendidikan di Indonesia. Jika dilihat dari segi positif, maka perkembangan pendidikan sangat bermanfaat bagi perkembangan suatu bangsa agar menjadi bangsa yang lebih maju dan berkembang. Namun perlu diwaspadai bahwa ketidaksiapan bangsa dalam menerima perubahan zaman akan membawa perubahan tehadap mental dan keadaan negara. Sehingga perlu kesiapan yang matang bagi Negara dalam menerima perkembangan segala aspek kehidupan secara global akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bekembangnya ilmu pengetahuan telah membentuk teknologi baru dalam segala bidang, baik bidang sosial, ekonomi dan budaya.
Sebagai negara berkembang Indonesia dihadapkan kepada tantangan dunia global, yang mana segala sesuatu dapat berlangsung dengan bebas. Keadaan seperti ini akan sangat mempengaruhi keadaan pendidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia harus mampu mendidik mental dan moral peserta didik agar tidak terpengaruh terhadap hal-hal negative akibat globalisasi ini. Penemuan teknologi baru di dalam dunia pendidikan di Indonesia, menuntut Indonesia melakukan reformasi dalam bidang pendidikan untuk dapat mengikuti perkembangan dunia. Namun pelaksanaan reformasi tidaklah mudah, hal ini sangat menuntut kesiapan Sumber Daya Manusia di Indonesia untuk menjalankannya.
Seperti yang kita ketahui, semakin berkembangnya iptek maka sekaligus mempercepat proses globalisasi yang dapat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku dari masyarakat termasuk peserta didik. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan harus senantiasa mengikuti perkembangan zaman dan memerhatikan perkembangan pola pikir dan tingkah laku dari setiap peserta didik. Salah satu solusi yang ditawarkan terhadap masalah tersebut adalah dengan penggunaan kurikulum yang tepat. Sehingga tidak mengherankan bahwa Negara Indonesia berulang kali melakukan pergantian kurikulum pendidikan. Meskipun pergantian kurikulum merupakan cara bagi sistem pendidikan di Indonesia untuk dapat berkembang, namun perlu diingat bahwa Indonesia merupakan Negara kepulauan.
Pembangunan serta perkembangan iptek tidak merata di setiap daerahnya. Hal tersebut menyebabkan perbedaan pola pikir dan tingkah laku masyarakat termasuk juga peserta didik yang ada di masing- masing daerah. Hal ini tentu akan mempengaruhi perkembangan masalah pendidikan dalam memilih kurikulum yang tepat guna mengatasi masalah mutu pendidikan. Selain itu perkembangan iptek juga membawa dampak negative yang dapat merusak moral dari peserta didik jika tidak dapat disikapi dengan bijak. Hal ini nantinya akan sangat mempengaruhi kualitas keluaran Pendidikan.
Berbicara prihal seni, Seni merupakan kebutuhan hidup manusia. Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menghasilkan sesuatu yang indah. Kesenian memiliki peranan besar dalam kehidupan. Sesuai dengan tujuan pendidikan maka kesenian mengambil andil yang besar dalam pengembangan sikap manusia khususnya emosi peserta didik. Seiring perkembangan zaman, kesenian pun ikut mengalami perkembangan. Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap cabangnya telah mengalami perkembangan yang pesat dan semakin mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat. Dengan memerhatikan hal tersebut sudah sepantasnya seni dikembangkan melalui sistem pendidikan secara terstruktur dan terprogram.
Disinilah letak permasalahannya yaitu pengembangan kualitas seni secara terprogram menuntut tersedianya sarana pendidikan tersendiri disamping program-program lain dalam sistem pendidikan. Kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar peserta didik belum menyadari pentingnya pendidikan kesenian dan masih menganggap pendidikan seni tidak begitu penting dibandingkan pelajaran lain. Sehingga pendidikan kesenian baru terlayani setelah program studi yang lain terpenuhi pelayanannya.
2.      Laju pertumbuhan penduduk
Laju pertumbuhan penduduk yang sangat pesat akan berpengaruh tehadap masalah pemerataan, mutu, efesiensi, dan relevansi pendidikan. Pertumbuhan penduduk ini akan berdampak  pada jumlah peserta didik. Semakin cepat laju pertumbuhan penduduk, maka semakin banyak pula jumlah peserta didik. Menangani jumlah peserta didik yang meningkat maka dibutuhkan sekolah-sekolah untuk menampungnya.
Jika daya tampung suatu sekolah tidak memadai, maka timbul suatu masalah yaitu akan banyak peserta didik yang terlantar atau tidak bersekolah. Hal ini akan menimbulkan masalah pemerataan pendidikan. Tetapi apabila jumlah dan daya tampung suatu sekolah dipaksakan, maka akan terjadi ketidakseimbangan antara tenaga pengajar dengan peserta didik. Jika keadaan ini dipertahankan, maka mutu dan relevansi pendidikan tidak akan dapat dicapai dengan baik. Indonesia dihadapkan kepada masalah penyebaran penduduk yang tidak merata. Selain itu kemampuan pusat untuk menjangkau daerah terpencil masih belum optimal. Seringkali perencanaan, sarana dan prasarana pendidikan di suatu daerah terpencil tidak terkoordinir dengan baik. Hal ini diakibatkan karena lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap daerah tersebut.
3.      Aspirasi masyarakat
Sebagai Negara yang menjunjung tinggi demokrasi maka aspirasi masyarakat Indonesia berperan besar dalam pengambilan kebijakan yang ada di Negara Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal mengalami peningkatan, khususnya aspirasi terhadap pendidikan, hidup sehat serta aspirasi terhadap pekerjaan.
Orang mulai beranggapan bahwa untuk dapat hidup lebih layak dan sehat harus ada pekerjaan tetap yang menopang dan kunci akhir hanya pendidikan yang memberi jaminan seseorang untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan adanya peningkatan  aspirasi terhadap pentingnya pendidikan maka orang tua mulai berlomba untuk menyekolahkan anaknya terutama mendaftarkan ke sekolah-sekolah favorit.
Meskipun sangat baik dengan adanya anggapan bahwa pendidikan merupakan hal penting yang harus didapatkan oleh seorang anak dalam hidupnya, namun ternyata ada masalah dibalik antusias tersebut. Dengan banyaknya jumlah pelamar mengakibatkan berbagai macam permasalahan di antaranya, seleksi penerimaan siswa di berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang objektif, jumlah siswa perkelas melebihi yang semestinya, karena kurangnya ruang kelas di suatu sekolah maka tidak jarang pemanfaatan gedung lain seperti laboratorium menjadi ruang kelas, diadakannya kesempatan belajar bergilir pagi sore dengan pengurangan jam belajar, kekurangan guru, dan seterusnya.
Sehingga dalam hal ini peningkatan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan memang harus tetap digalakkan, akan tetapi pemerintah dan seluruh pihak terkait harus lebih memikirkan cara untuk meningkatkan sarana dan prasarana sekolah untuk menanggapi masalah membludaknya calon peserta didik yang melebihi batas maksimal yang dapat ditampung oleh sekolah.
4.      Keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan
Di era globalisasi seperti sekarang ini banyak dan mudah terjadi pertukaran kebudayaan antar bangsa. Jika terjadi pertautan antara unsur kebudayaan baru dari luar dengan unsur kebudayaan lama yang lambat berubah maka terjadilah kesenjangan kebudayaan. Karena adanya kesenjangan kebudayaan maka timbul masalah keterbelakangan budaya.
Keterbelakangan budaya merupakan suatu istilah yang di berikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Keterbelakangan budaya disebabkan oleh beberapa hal misalnya letak geografis yang terpencil dan sulit dijangkau, penolakan masyarakat terhadap unsur budaya baru karena dikhawatirkan akan mengikis kebudayaan lama, dan ketidakmampuan ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Inti permasalahannya dalam dunia pendidikan adalah bagaimana menyadarkan ketertinggalan mereka yang mengalami keterbelakangan kebudayaan, bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana system pendidikan dapat melibatkan mereka dalam pembangunan. Apabila mereka tetap bersikokoh mempertahankan kebudayaannya maka pemerataan pendidikan sulit akan tercapai. Penyediaan sarana kehidupan di daerah terpencil juga sulit dilaksanakan. Efek selanjutnya yaitu mengarah kepada efisiensi pendidikan serta relevansinya terhadap pembangunan.
2.4    Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia dan Penanggulangannya
1.      Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia
Dunia pendidikan selalu dihadapkan oleh permasalahan karena selalu terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan hasil yang dapat dicapai dari proses pendidikan. Masalah aktual tersebut ada yang mengenai konsep dan ada yang mengenai pelaksanaannya. Misalnya munculnya kurikulum baru adalah masalah konsep. Apakah kurikulum itu cukup andal secara yuridis (merupakan penjabaran undang-undang pendidikan) atau tidak. Adapun permasalahan yang akan dikemukakan meliputi masalah-masalah keutuhan pencapaian sasaran, masalah kurikulum, masalah peranan guru, dan masalah pendidikan 9 tahun.
a.       Masalah Keutuhan Pencapaian Sasaran
Pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional bab II pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi di dalam GBHN butir 2a dan b tentang arah dan tujuan pendidikan bahwa yang dimaksud dengan manusia utuh adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan vertikal (dengan Tuhan), horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan konsentris (dengan diri sendiri); yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi. Tetapi di dalam pelaksanaanya pendidikan afektif belum ditangani semestinya.
Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan pengembangan aspek kognitif. Untuk itu banyak hambatan yang perlu dihadapi untuk mencapai sasaran secara utuh. Adapun hambatan yang harus dihadapi adalah sebagai berikut.
1)      Beban kurikulum sudah terlalu sarat. Maksudnya adalah beban kurikulum yang terlalu berat atau penuh. Banyak standar kompetisi yang harus dipenuhi sedangkan waktu belajar efektif siswa di sekolah yang cukup singkat.
2)      Pendidikan afektif sulit diprogramkan secara eksplisit. Hal ini dikarenakan pendidikan afektif dianggap menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang keterlaksanaannya sangat bergantung pada kemahiran dan pengalaman guru.
3)      Pencapaian hasil pendidikan afektif memakan waktu sehingga memerlukan ketekunan dan kesabaran pendidik.
4)      Menilai hasil pendidikan afektif tidak mudah. Untuk dapat mengetahui hasil pendidikan afektif, pendidik harus benar-benar memeriksa setiap tugas yang diberikan kepada siswa dan hasilnya dikembalikan kepada siswa untuk dibahas di dalam kelas. Untuk itu diperlukan intensif guru atau pendidik serta waktu yang cukup banyak untuk membahas setiap tugas yang diberikan.
b.      Masalah Kurikulum
  Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah segala sesuatu yang dijalankan, dilaksanakan, direncanakan, diajukan dan diawasi pelaksanaannya yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan, perkembangan siswa agar mampu ikut andil dalam masyarakat dan berguna bagi masyarakat, juga akan berguna bagi masa depannya kelak.
  Masalah-Masalah Kurikulum Pendidikan di Indonesia
Begitu banyak masalah-masalah kurikulum dan pembelajaran yang dialami Indonesia. Masalah-masalah ini turut andil dalam dampaknya terhadap pembelajaran dan pendidikan Indonesia.Sumber masalahnya ialah bagaimana sistem pendidikan dapat membekali peserta didik untuk terjun ke lapangan kerja (bagi yang tidak melanjtkan sekolah) dan memberikan bekal dasar yang kuat untuk ke perguruan tinggi (bagi mereka ingin lanjut).
Berikut ini adalah beberapa masalah kurikulum (menurut sudut pandang penulis):
1.      Kurikulum Pendidikan Indonesia Terlalu Kompleks
Jika dibandingkan dengan kurikulum pendidikan di negara maju, kurikulum yang dijalankan di Indonesia terlalu kompleks. Hal ini akan berakibat bagi guru dan siswa. Siswa akan terbebani dengan segudang materi yang harus dikuasainya. Sehingga siswa harus berusaha keras untuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan ketidakpahaman siswa terhadap keseluruhan materi yang diajarkan.
Siswa akan lebih memilih untuk mempelajari materi dengan hanya memahami sepintas tentang materi tersebut. Dampaknya, pengetahuan siswa akan sangat terbatas dan siswa kurang mengeluarkan potensinya, yang mengakibatkan berkurangnya daya saing siswa.
Selain berdampak pada siswa, guru juga akan mendapat dampaknya. Tugas guru akan semakin menumpuk dan kurang maksimal dalam memberikan pengajaran. Guru akan terbebani dengan pencapaian target materi yang terlalu banyak, sekalipun masih banyak siswa yang mengalami kesulitan, guru harus tetap melanjutkan materi. Hal ini tidak sesuai dengan peran guru. Kurikulum di Indonesia yang cenderung fokus pada kemampuan intelektual membuat bakat atau soft skill siswa tidak berkembang. Padahal, sebenarnya bakat siswa bermacam-macam dan tidak bisa dipaksa harus berada di suatu bidang saja.
2.      Seringnya Berganti Nama
Kurikulum pendidikan di Indonesia sering sekali mengalami perubahan. Namun, perubahan tersebut hanyalah sebatas perubahan nama semata. Tanpa mengubah konsep kurikulum, tentulah tidak akan ada dampak positif dari perubahan kurikulum pendidikan Indonesia. Bahkan, pengubahan nama kurikulum mampu disajikan sebagai lahan bisnis oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Pengubahan nama kurikulum pendidikan tentulah memerlukan dana yang cukup banyak. Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi, alangkah baiknya jika dana tersebut digunakan untuk bantuan pendidikan yang lebih berpotensi untuk kemajuan pendidikan.
3.      Kurangnya sumber prinsip pengembangan
Pengembangan kurikulum pendidikan tentu saja berdasarkan sumber prinsip, untuk menunjukan dari mana asal mula lahirnya suatu prinsip pengembangan kurikulum. Sumber prinsip pengembangan kurikulum yang dimaksud adalah data empiris (pengalaman yang terdokumentasi dan terbukti efektif), data eksperimen (temuan hasil penelitian), cerita/legenda yang hidup di masayaraksat (folklore of curriculum), dan akal sehat (common sense).
Namun dalam fakta kehidupan, data hasil penelitian (hard data) itu sifatnya sangat terbatas. Terdapat banyak data yang bukan diperoleh dari hasil penelitian juga terbukti efektif untuk memecahkan masalah-masalah yang komploks, diantaranya adat kebiasaan yang hidup di masyarakat (folklore of curiculum). Ada juga hasil pemikiran umum atau akal sehat (common sense).
c.       Masalah Peranan Guru
Guru merupakan salah satu komponen terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak di pundak guru. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan hakikatnya ada di tangan guru. Sebab, sosok guru memiliki peranan dalam mengukir peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil, bermoral dan berpengetahuan luas.
Namun saat ini banyak aksi tuntutan mengenai profesionalisme guru. Eksistensi guru menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran di sekolah. Dalam pengamatan penulis, tuntutan tersebut sejalan dengan cita-cita yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3, yang berbunyi:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Karena itu, sikap profesionalisme dalam dunia pendidikan, tidak hanya sekadar dinilai formalitas tetapi harus fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasi aksi operasionalnya. Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka persaingan global, memerlukan sumber daya manusia yang bermutu dan selalu melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga pendidik atau guru merupakan blueprint bagi penyelenggaraan pendidikan.
Seorang guru yang baik adalah mereka yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu profesional guru untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang bermutu.
d.      Masalah Pendidikan Dasar 9 Tahun
Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelamin, agama, ras, suku, Latar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah dirintis sejak tahun 1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950,  UU nomor 12 tahun 1954 telah ditetapkan bahwa setiap anak usia 8 – 14 tahun dikenakan pendidikan wajib belajar. Namur program pendidikan wajib belajar yang dicanangkan oleh pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya, karena adanya pergolakan politik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138).
Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan secara nasional dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mel 1984 secara resmi Presiden Suharto mencanangkan dimulainya pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar.
Pada tahap ini penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib belajar tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan kepada anak-anak usia 7 – 12 tahun.
Dua kenyataan mendorong segera dilaksanakannya gerakan pendidikan wajib belajar tersebut. Kenyataan pertama, ialah masih adanya anak usia 7 – 12 tahun yang belum pernah bersekolah atau putus sekolah pada tingkat sekolah dasar. Pada tahun 1983 terdapat sekitar 2 juta anak usia 7 – 12 tahun yang terlantar dan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar.
Sedangkan pada saat dicanangkannya pendidikan wajib belajar pada tahun 1984 masih terdapat anak berusia 7 – 12 tahun sekitar kurang lebih 1,5 juta orang yang belum bersekolah. Kenyataan kedua, ialah adanya keinginan pemerintah untuk memenuhi ketetapan GBHN yang telah mencantumkan rencana penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak GBHN 1978 maupun GBHN 1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang dimulai 2 Mel 1984 dipandang sebagai pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam Pembukaan UUD 1945 segera dapat diwujudkan. (Haris Mudjiman, 1994:1-2).
Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belalar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD dan SMP) yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal ini sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuang pada pasal 34 sebagai berukut:
1)      Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
2)      Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terse­lenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
3)      Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
4)      Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana di­maksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah mencanangkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74,182).
Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan, yaitu suatu wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro.
Maksud utamanya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan untuk terus belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk belajar lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia kerja. (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988).
Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun telah diatur lebih luas di dalam UU No. 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional memberi hak kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat (pasal 5 ayat 1 dan 5).
Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa pendidikan wajib belajar 9 tahun bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat tanpa dipungut biaya. (Arifin, 2003: 11).
Selain itu, Program Wajar 9 th ini diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara; berikut adalah beberapa hal yang relevan dengan pembahasan yang dimuat dalam Permendiknas No 35 tahun 2006.
2.      Upaya Penanggulangan
Menurut Tirta rahardja pada (2010:249) beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah-masalah aktual seperti telah dikekemukakan pada butir satu, antara lain sebagai berikut.
a.       Pendidikan afektif perlu ditingkatkan secara terprogram tidak cukup berlangsung hanya sekedar insidental.
b.      Pelaksanaan ko dan ekstrak kurikuler dikerjakan dengan penuh kesungguhan.
c.       Pemilihan siswa atas kelompok yang akan melajutkan belajar ke perguruan tinggi.
d.      Tenaga pendidik khususnya guru perlu diberi perhatian khusus.
e.       Perlu diadakan penelitian secara meluas pada masyarakat untuk menemukan faktor penunjang dan faktor penghambat dari pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun.
BAB 3
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia yaitu mengenai bagaimana pengupayaan agar semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan serta pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Jenis-jenis permasalah pokok pendidikan yang diprioritaskan penanggulangannya di Indonesia yaitu masalah pemerataan pendidikan, masalah mutu pendidikan, masalah efisiensi pendidikan dan masalah relevansi pendidikan. Pelaksanaan pendidikan yang merata adalah  pelaksanaan program pendidikan yang dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk dapat memperoleh pendidikan atau biasa disebut perluasan kesempatan belajar. Selain merata, pendidikan juga harus menekankan prihal mutu yaitu pelaksanaan pendidikan yang dapat menghasilkan tenaga profesional yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan negara dan bangsa pada saat ini.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pokok pendidikan di Indonesia yaitu perkembangan iptek dan seni, Laju pertumbuhan penduduk, aspirasi masyarakat serta keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan. Kesemua faktor tersebut dapat menjadi penyebab timbulnya masalah pokok pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya kesiapan system pendidikan dalam menghadapi perkembangan faktor-faktor penyebab masalah pokok pendidikan yang terus mengalami perubahan seiring perkembangan jaman.
3.2  Saran
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui makalah ini adalah semua pihak harus bekerjasama dalam upaya penanggulangan permasalahan pokok pendidikan. Meningkatkan kualitas pendidik dalam usaha peningkatan mutu pendidikan. Serta penyediaan sarana dan prasarana yang lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Tirtarahardja, Prof. Dr. Umar & Sulo,Drs. S. L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hamdani. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Berkembanganya Masalah Pendidikan.(http://hamdanizone.blogspot.com/2011/12/faktor-faktor-yang mempengaruhi.html) diakses pada 2 September 2013.
Pakpahan, Effendi. 2013. Faktor Pendukung Masalah Pendidikan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Salam kenal dari ViiJourney buat semua Sobey yang sempat baca tulisan dalam blog ini. Sini, tinggalkan komentar di bawah. Kita saling sapa :)