بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Nulis yang aku sukai aja, semoga bermanfaat juga buat kalian. Happy reading :)"

Selamat Hari Guru Nasional: Nikmati Peranmu sebagai Pendidik




 Jendra dan Danish (Sumber: potret pribadi)
Hai Sobat ViiJourney!
Kali inim hanya ingin berbagi cerita tentang duo bocah ini.

Saat pindah kelas, aku paling mudah beradaptasi dengan mereka berdua. Meski pada awalnya harus melalui drama-drama yang unik. 

Mereka berdua sangat berbeda dari kawan-kawan sekelasnya. Kalau yang lainnya sudah bisa bahkan dengan mudahnya mengenaliku dan menyapaku ramah, tidak dengan mereka berdua. 

Jendra (re: baju merah kombi abu) yang belum pandai berbicara, kosakatanya irit sekali. Hanya tahu bilang mama, papa, iya, bunda ati (re: bunda cantik, panggilan ini dihapalnya karena selalu diajari untuk bilang bunda cantik oleh guruguru disana-gurunya pada kuker😂) ngangguk aja, selebihnya diam.

Itu awalnya. 

Hingga pada akhirnya, aku selalu mengajarkannya untuk menyebut namaku (yang kuajari untuk memanggil Ita, tapi malah dibalik olehnya menjadi Ati akibat panggilan yang diajarkan sebelumnya😆), namun sekarang sudah pandai menyebut namaku. Sampai-sampai hanya aku satu-satunya guru yang dikenalnya.

Jika menunjuk sesuatu yang sebenarnya aku paham apa permintaannya, aku juga selalu menuntunnya untuk melisankan keinginannya terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mengenalkan kosakata agar ia pandai berbicara. Lebih tepatnya dibiasakan lah, untuk mengucapkan terimakasih, meminta maaf, meminta tolong dan hal-hal sederhana lainnya.

Kalau pada awalnya, ia tidak bisa diam saat melaksanakan sholat dhuha berjamaah dimasjid (re: kerjanya selalu main lari-larian di masjid), maka sekarang ia sudah bisa tertib ikutan sholat dari awal sampai akhir. Selalu kutanamkan; "Sholat dulu nak."

Jika ia sudah mulai bermain lagi, maka cukup dengan tatapan dan gerakan tanganku bersedekap saja aku mengingatkannya maka ia sudah paham dan akan tertib lagi sholatnya. Senang sekali rasanya.

Danish (re: baju putih) yang sangat amat cerewet, tapi kalau diajak ngomong suka nggak nyambung. Suka gabung dalam pembicaraan, suka cerita ngalor-ngidul. Kalau ditanya, jangan tunggu jawabannya, karena ia tidak akan menjawab sesuai dengan pertanyaan. 

Danish yang awalnya kukenal suka menyapa, ramah, cerewet tapi tiba-tiba jadi anak yang cengeng, suka rewel dan penakut. Pernah sampai tiga minggu hal seperti ini berulang. Selalu tidak mau ditinggal di sekolah, mencari penjaganya yang akrab disapa Manda. Selalu bertanya; "Manda kapan datang?" (re: datang untuk menjemput). Jika pertanyaan seperti ini dilontarkan, maka aku selalu menjawab sambil menunjuk pada jam dinding yang ada di kelas. 

"Manda datang nanti jemput Danish kalau jarumnya ada di angka sebelas  (re: jam sebelas). Tuh lihat, belum diangka sebelas kan?"

Jadi selang beberapa minggu itu, ruang kelas bersahabat dengan suara tangisnya yang histeris dan pertanyaan yang berulang tentang waktu penjemputan. Lumayan. Waktu selama itu, jika aku tak sabar dengannya bisa saja aku belum melihat Danish yang sekarang. Sejak saat itu, Danish menjadi anak yang sangat lengket padaku. Tak mau jika bukan aku yang menggandengnya. Di dalam kelas pun, ia tak mau jika duduknya tak berdekatan denganku. Selalu minta untuk dipangku olehku. 

Kalau saja aku keluar kelas untuk mengambil air minum atau hendak ke wc, maka ia akan memaksa untuk ikut pula denganku. Rempong kan?  

Namun, Alhamdulillah kebiasaan-kebiasaan itu sudah bisa diminimalisir. Apalagi, saat ini di sekolah aku tengah menjalankan amanah baru yang tugasku tak hanya stagnan di kelas saja. Melainkan aku harus moving dari kelas satu ke kelas lainnya untuk mengajari anak-anak pra Sekolah Dasar belajar membaca.

Awalnya Danish menangis histeris saat aku keluar dari kelas. Lagian mana mungkin aku mengajaknya dalam jangka waktu yang cukup lama. Dia kan harus belajar. Jadilah dengan terpaksa, aku harus pergi dengan tega melihatnya berderai air mata. Saat aku kembali lagi di kelas, maka ia akan langsung menyambutku dan minta lagi dipangku olehku. 

Berbeda sekali dengan saat ini. Semua berubah seratus delapan puluh derajat. Meski kelengketannya masih terlihat, tapi ia mulai mengerti. Sangat pengertian. 

Saat aku akan keluar kelas, maka aku mengatakan pada bahwa aku harus keluar. 

"Mau kasih belajar membaca kakak-kakak dulu ya. Danish tunggu disini, belajar sama teman-teman. Yah?"

Ia mengangguk mengizinkan. Maka dengan tenang pula aku bisa keluar kelas. Jika aku datang, pertanyaan yang sering dilontarkannya saat ini pertanyaan seperti; 

"Bunda Nita kenapa lama sekali kasih membaca kakak-kakak?" 

Ohiyya, Danish tak bisa memanggil namaku dengan sebutan Ita. Padahal aku sudah mengajarinya berulang kali. Kalau aku pisahkan I-ta, ia bisa menyebutkannya. Namun jika langsung ku sambung Ita, maka akan kembali lagi seperti semula. Bunda Nita, begitulah (punya nama baru lagi ya).

Mengenal mereka itu pengalaman yang luar biasa. Aku diajarkan untuk sabar, bahwa mengajari dan mendidik itu sejatinya harus dengan hati. Hati yang ikhlas, maka keikhlasan pun akan sampai juga pada mereka dan akhirnya merekapun luluh dengan itu. 

Hanya butuh pembiasaan saja. Mengucapkan dan berperilaku yang baik sudah cukup untuk mengajari mereka tentang akhlak yang baik. Tahu kan? Anak-anak sangat pandai merekam. Anak-anak itu adalah CCTV yang canggih. Semua yang mereka dengar dan yang mereka lihat, maka itulah yang tersimpan dalam memori. Akhirnya, itulah yang juga mereka tiru. 


Jadi, semua tergantung dari bahaimana kita berperilaku dan berucap di depan mereka. Buah apel tidak mungkin tumbuh dan berkembang di pohon pisang kan? So, sebagai pendidik, jadilah panutan yang baik bagi anak-anak didikan kita. Kita adalah sosok yang akan selalu dibangga-banggakan oleh mereka bahkan di depan kedua orang tuanya saat mereka pulang ke rumah masing-masing.

Usia dini harus memberikan rekam-rekam jejak yang baik kepada mereka. Mengajarkan hal-hal sederhana kepada mereka agar jadi pembiasaan yang baik pula untuk mereka. Nikmatilah peranmu sebagai pendidik. Karena sejatinya, kita semua akan menjadi pendidik bagi anak-anak kita nantinya.

Entah apa peranmu, sebagai ayah ataupun ibu. Yang pasti, peran itu akan kau dapatkan tanpa kau minta lagi. Karena kudratnya sudah demikian. 

Mari kita sama-sama belajar menjadi pendidik. Mendidiklah dengan hati untuk melahirkan generasi-generasi yang lembut hatinya. Pandai mengelola emosional bagi dirinya sendiri. Pengetahuan memang penting, namun pengetahuan tanpa akhlak, apalah jadinya. Didiklah dengan hati, perankan akhlak yang baik sembari menambah pengetahuan-pengtahuan lainnya untuk mereka. 

Tulisan hari ini, kuabadikan untuk memperingati Hari Guru Nasional 05 Oktober 2019. 

Terimakasih untuk para guru yang pernah mengajariku banyak hal, guru yang menginspirasi, dan semua guru diseluruh dunia yang sudah memilih untuk mengabdikan diri untuk menjadi pendidik. Jasamu, abadi sepanjang masa. Itu sudah pasti.

Selamat hari guru😊

1 komentar:

  1. Keren, kak. Guru memang spesial. Banyak hal yang patut diteladani dari seorang guru, terutama terkait bagaimana mereka membimbing anak yang diajarnya. Seharusnya sebagai orangtua, kita belajar bagaimana cara guru bersabar.

    BalasHapus

Salam kenal dari ViiJourney buat semua Sobey yang sempat baca tulisan dalam blog ini. Sini, tinggalkan komentar di bawah. Kita saling sapa :)